Kamis, 27 November 2014

Pastur yang Sangat Benci Islam Ini Akhirnya Memeluk Islam


Pastur yang Sangat Benci Islam Ini Akhirnya Memeluk Islam

Steven Indra Widjaja betul-betul tak menyangka kebenciannya yang mendalam terhadap Islam, justru mengantarkan dia secara perlahan jatuh di pelukan agama tauhid ini.

Sejak kecil, kedua orang tuanya sudah menyemai benih kebencian terhadap Islam pada diri pria kelahiran Jakarta 14 Juli 1981 ini.

Di usianya yang baru menginjak tahun kelima, Steven mulai banyak berbuat onar. Ia sengaja menyimpan tulang babi di atas makanan pembantunya yang beragama Islam. Tak hanya itu, Steven kecil ingin sekali menaruh sesuatu di atas kepala orang muslim yang tengah sujud sewaktu mereka shalat, bahkan menendangnya.

“Saya dulu benci banget sama Islam. Ya, pokoknya benci saja melihat orang Islam. Itu yang ada di kepala saya waktu itu. Pokoknya saya jahat banget,” kenang Steven.

Oey Ing Sing Sing, ayah steven, adalah penganut Kristen Protestan. Selain menjadi aktivis di GKI (Geraja Kristen Indonesia) dan gereja Bethel di Muara Karang Jakarta Utara, ia juga pebisnis di Century 21 dan Jawa Barat Indah. Ia banyak mencari dana di luar negeri untuk pembangunan gereja-gereja di Indonesia.

Meski demikian, Steven malah dipersiapkan sebagai bruder (penyebar ajaran Kristen katolik) oleh ayahnya. Selain karena dorongan dari sang nenek, Steven juga dipersiapkan sebagai penganut katolik generasi ketiga dari kakek ibu dia.

“Saya katolik, nenek saya katolik, Oom saya yang di Amerika dan di Surabaya juga Katolik. Yang lainnya protestan. Memang, kita agak campur juga di rumah,” ungkap Direktur Operasional Mustika (Muslim Tionghoa dan Keluarga) ini.

Untuk mempersiapkan sebagai Bruder generasi ketiga, Steven diasramakan oleh ayahnya di Pangudi Luhur Ambarawa, Jawa Tengah. Pendidikan ini ia jalani sampai tingkat SMA. Karena untuk menjadi bruder minimal harus memiliki ijazah Diploma III (D3), selepas menamatkan pendidikannya di SMA Don Bosco tahun 1997, Steven didaftarkan ke sekolah tinggi Saint Michael’s College, di Worcestershire, Inggris.

Spesialis Islamologi diambilnya pada mata pelajaran agama, karena ia ingin sekali menghancurkan umat Islam melalui ajarannya. Ia mempelajari hadits dan riwayatnya untuk mencari celah agar orang muslim percaya bahwa apa yang diajarkan dalam agama mereka itu tidak benar.

Bahkan untuk mengemban tugas sebagai seorang penginjil, Steven harus melakoni proses disumpah tidak boleh menikah dan harus mengabdi seluruh hidupnya untuk Tuhan. Di sekolah ini Steven menjalaninya selama 2,5 tahun. Setelah selesai, Steven kembali pulang ke Indonesia sebagai seorang penginjil.

Namun seiring dengan aktifitasnya sebagai penginjil, timbul keraguan dalam diri Steven atas apa yang ia pelajari selama ini. Apa yang ia pelajarinya bertolak belakang dengan buku-buku Islam yang ia temui di toko-toko buku.

Suatu hari, sewaktu mendatangi salah satu toko buku di Jakarta, Steven menemukan buku karangan Imam Ghazali, tentang hadits dan periwayatannya. Buku yang mengulas hadist dan sejarah periwayatannya itu cukup menarik perhatian Steven. Ternyata banyak referensi dan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Awal dari sinilah Steven mulai mengetahui bahwa hadist-hadits yang selama ini dipelajarinya di Saint Michael’s College ternyata tidak diakui oleh umat Islam sendiri. Hadits-hadits yang dipelajarinya tersebut ternyata palsu. Dari sana kemudian Steven mulai mencari hadits-hadits yang sahih.

Keinginan Steven untuk mempelajari ajaran Islam tak hanya sampai di situ. Di sela-sela tugasnya sebagai seorang penganut Katolik, diam-diam Steven mulai mempelajari gerakan shalat.

Kegiatan mengamati orang yang shalat itu ia lakukan selepas menjalankan ritual ibadah Minggu di gereja Katedral, Jakarta. Tak ada yang mengetahui kegiatannya itu, kecuali seorang adik laki-lakinya. Namun, sang adik diam saja atas perilakunya itu.

“Ketika waktu shalat Dzuhur datang dan adzan berkumandang dari Masjid Istiqlal, kalung salib saya masukkan ke dalam baju, sepatu saya lepas dan titipkan. Kemudian, saya pinjam sandal tukang sapu kebun di Katedral. Setelah habis shalat, saya balik lagi mengenakan kalung salib dan kembali ke Katedral," papar lulusan Fakultas Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, ini.

Aktivitasnya di mata sang adik itu, ia lakoni selama dua bulan. Dan, berkat kerja sama sang adik pula, tindakan yang ia lakukan tersebut tidak sampai ketahuan oleh ayahnya. Dari situ, lanjut Steven, ia baru sebatas mengetahui orang Islam itu shalat empat rakaat dan selama shalat diam semua.

Tahap berikutnya Steven mulai belajar shalat Maghrib di sebuah masjid di daerah Muara Karang, Jakarta Utara. Ketika itu, ia beserta keluarganya tinggal di wilayah tersebut.

"Dari situ, saya mulai mengetahui ternyata ada juga shalat yang bacaannya keras. Kemudian, saya mulai mempelajari shalat-shalat apa saja yang bacaannya dikeraskan dan tidak," tutur Steven.
Usai belajar shalat dzuhur dan maghrib, ia melanjutkan ke shalat Isya, Subuh, lalu Ashar.

Kesemua gerakan dan bacaan shalat lima waktu tersebut ia pelajari dengan mengikuti apa yang dilakukan jama'ah shalat. Sampai tata cara berwudhu pun, menurut penuturannya, ia pelajari dan hafal dengan menirukan apa yang dilakukan oleh para jama'ah shalat.

"Saya lihat orang berwudhu, ingat-ingat gerakannya, baru setelah sepi, saya mempraktikkannya,” ujarnya.
Alhamdulillah, dalam waktu seminggu Steven sudah hafal gerakan berwudhu. Begitu juga, dengan gerakan shalat dan bacaannya. Steven melihat gerakan imam dan mendengar bacaannya sambil berusaha mengingat dan menghafalkan.

“Habis shalat itu adem. Ada bahasan kultum tentang apa yang tadi dibaca. Itu punya nilai lebih. Tak sekedar nyanyi, makan, dan tertawa seperti yang saya lakukan di gereja. Islam itu lebih disiplin. Kalau Adzan bunyi, langsung datang ke masjid,” tambah pria yang saat ini tengah mendalami musthalah hadits melalui beberapa guru besar ahli hadits.

Setelah merasa mantap, Steven pun memutuskan untuk masuk Islam dengan dibantu oleh seorang teman bisnisnya bernama Harry, di Serang, Banten. Dihadapan Harry dan 4 orang temannya berikut salah seorang Ustadz, Steven mengucapkan dua kalimat syahadat. Kemudian Steven pun menggunakan nama Indra Wibowo ash-Shiddiqi. Peristiwa itu terjadi sebelum datangnya bulan Ramadhan di tahun 2000.

Ke-Islamannya itu baru diketahui oleh kedua orangtuanya setelah ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta, saat hendak mengambil pakaian. Kabar ini diketahui dari rekan-rekan bisnis sang ayah yang tengah mengerjakan proyek pembangunan resort di wilayah Muara Karang dan Pluit.

“Makanya papa punya banyak kenalan dan teman. Dan mungkin orang-orang itu sering melihat saya datang ke masjid dan mengenakan peci, makanya dilaporkan ke papa,” ungkapnya.

Ayahnya pun memutuskan untuk mengirim orang untuk memata-matai setiap aktivitas Indra sehari-hari. Setelah ada bukti nyata, ia kemudian dipanggil, lalu disidang oleh ayahnya.

Di hadapan ayahnya, Steven mengatakan bahwa selama menjalani pendidikan calon bruder, dirinya mendapatkan kenyataan pahit. Pastur yang selama ini ia hormati, ternyata melakukan perbuatan asusila terhadap para suster. Demikian pula para frater yang menghamili siswinya, serta para bruder yang menjadi homo.

Seakan tidak terima dengan penjelasan sang anak, ayahnya pun menampar Indra hingga kepalanya terbentur ke kaca. Beruntung, saat kejadian sang ibu langsung membawa Indra ke Rumah Sakit Atmajaya. Tujuh jahitan menghias dahinya saat itu. Kendati demikian, sang ibu tetap tidak bisa menerima keputusan Steven.
Bahkan, oleh ayahnya, Indra kemudian diusir, setelah dipaksa menandatangani surat pernyataan di hadapan notaris, mengenai pelepasan haknya sebagai salah satu pewaris dalam keluarga.

"Saya tidak boleh menerima semua fasilitas keluarga yang menjadi hak saya," ujarnya. Meski hidup dengan penuh cobaan, ungkap Indra, masih ada Allah SWT yang menyayanginya dan membukakan pintu rezeki untuk dia.islamedia.co 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar