ISLAM DAN MASYARAKAT MADANI
(PKNH-FISE-UNY)
A. Pendahuluan
Sejak kekuasaan Soeharto memasuki masa-masa akhir pemerintahannya, istilah masyarakat madani cukup populer di kalangan masyarakat Indonesia. Konsep itu lebih populer lagi setelah pemerintahan Soeharto tumbang dan diganti dengan masa baru yang bertekad ingin mewujudkan masyarakat madani di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Secara umum masyarakat madani sering dipahami sebagai masyarakat sipil (civil society). Memang sejak masa reformasi, masyarakat sipil mulai mendapatkan angina segar untuk banyak berkiprah di pemerintahan dan dapat menduduki berbagai jabatan penting di negara ini. Namun, di sisi lain hasil yang dicapai dari pencanangan masyarakat madani ini sudah tidak sesuai dengan prinsip awalnya. Yang tampak hanyalah kebebasan warga sipil untuk melakukan apa saja tanpa harus memperhatikan prinsip-prinsip masyarakat madani yang sesungguhnya, yakni yang memiliki prinsip-prinsip dasar tersendiri.
Di kalangan para pemikir kita sendiri, istilah masyarakat madani sering dipahami berbeda, sehingga dapat berpengaruh terhadap arah yang akan dituju. Karena itulah kita perlu memahami arti yang lebih tepat mengenai konsep masyarakat madani ini, dengan harapan dapat menerapkan prinsip-prinsipnya dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya di Indonesia. Tulisan ini akan menguraikan mula-mula tentang pengertian masyarakat madani, lalu prinsip-prinsip dasarnya, dan selanjutnya bagaimana mewujudkan masyarakat madani di Indonesia.
B. Pengertian Masyarakat Madani
Istilah ‘madani’ berasal dari bahasa Arab ‘madaniy’. Kata ‘madaniy’ berakar pada kata kerja ‘madana’ yang artinya mendiami, tinggal, atau membangun. Dalam bahasa Arab kata ‘madaniy’ mempunyai beberapa arti, di antaranya yang beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata (Munawwir, 1997: 1320). Dari kata ‘madana’ juga muncul kata ‘madiniy’ yang berarti urbanisme (paham masyarakat kota). Secara kebetulan atau dengan sengaja bahasa Arab menangkap persamaan yang sangat esensial di antara peradaban dan urbanisme. Dengan mengetahui makna kata ‘madani’ maka istilah masyarakat madani (al-mujtama’ al-madaniy) secara mudah bisa dipahami sebagai masyarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu kota atau yang berpaham masyarakat kota yang akrab dengan masalah pluralisme. Dengan demikian, masyarakat madani merupakan suatu bentuk tatanan masyarakat yang bercirikan hal-hal seperti itu yang tercermin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam bahasa Inggris masyarakat madani sering diistilahkan civil society atau madinan society. Adam B. Seligman mendefinisikan civil society sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai pertentangan kepentingan antara individu dengan masyarakat dan antara masyarakat sendiri dengan kepentingan negara (Abdul Mun’im, 1994: 6). Dalam perbincangan ini masyarakat sipil tidak dihadapkan dengan masyarakat militer yang memiliki power yang berbeda. Civil society (masyarakat sipil) sesuai dengan arti generiknya bisa dipahami sebagai civilized society (masyarakat beradab) sebagai lawan dari savage society (masyarakat biadab). Dengan civil society, menurut Vaclav Havel, rakyat sebagai warga negara mampu belajar tentang aturan-aturan main lewat dialog demokratis dan penciptaan bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni. Menurut Havel, gerakan penguatan civil society merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan yang monolitik. Secara normatif-politis, inti strategi ini adalah upaya memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa rakyat sebagai warga memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas apa yang mereka lakukan atas nama bangsa (Hikam, 1994: 6).
Dua tinjauan konsep masyarakat madani, baik melalui pendekatan bahasa Arab maupun bahasa Inggris, pada prinsipnya memiliki makna yang relatif sama, yaitu menginginkan suatu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban dan demokrasi. Yang jelas, meskipun konsep tentang masyarakat madani tidak dapat dianalisis secara persis, mana sebenarnya konsep yang digunakan sekarang ini, berfungsinya masyarakat madani jelas dan tegas ada dalam inti sistem-sistem politik yang membuka partisipasi rakyat umum. Konsep masyarakat madani (civil society) kerap kali dipandang telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan menentang pemerintahan sewenang-wenang di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur (Nurcholish Madjid, 1997: 294).
C. Prinsip-prinsip Dasar Masyarakat Madani
Prinsip dasar masyarakat madani dalam konsep politik Islam sebenarnya didasarkan pada prinsip kenegaraan yang dijalankan pada masyarakat Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Masyarakat Madinah adalah masyarakat plural yang terdiri dari berbagai suku, golongan, dan agama. Islam datang ke Madinah dengan bangunan konsep ketatanegaraan yang mengikat aneka ragam suku, konflik, dan perpecahan. Negara Madinah secara totalistik dibangun di atas dasar ideologi yang mampu menyatukan Jazirah Arab di bawah bendera Islam. Ini adalah babak baru dalam sejarah politik di Jazirah Arab. Islam membawa perubahan radikal dalam kehidupan individual dan sosial Madinah karena kemampuannya mempengaruhi kualitas seluruh aspek kehidupan (al-Umari, 1995: 51).
Prinsip dasar yang lebih detail mengenai masyarakat madani ini diuraikan oleh Prof. Akram Dliya’ al-Umari dalam bukunya al-Mujtama’ al-Madaniy fi ‘Ahd al-Nubuwwah (Masyarakat Madani pada Periode Kenabian). Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Madinan Society at the Time of Prophet (1995). Dalam buku ini al-Umari menjelaskan secara panjang lebar mengenai dasar-dasar yang diterapkan Nabi dalam mewujudkan masyarakat madani (masyarakat Madinah).
Menurut al-Umari (1995: 63-120), ada beberapa prinsip dasar yang bisa diidentifikasi dalam pembentukan masyarakat madani, di antaranya adalah 1) adanya sistem muakhah (persaudaraan), 2) ikatan iman, 3) ikatan cinta, 4) persamaan si kaya dan si miskin, dan 5) toleransi umat beragama. Kelima prinsip ini akan diuraikan satu persatu di bawah ini.
Pertama, sistem muakhah. Muakhah berarti persaudaraan. Islam memandang orang-orang Muslim sebagai saudara (QS. al-Hujurat (49): 10). Membangun suatu hubungan persaudaraan yang akrab dan tolong-menolong dalam kebaikan adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Sistem persaudaraan ini dibangun Nabi sejak beliau masih berdomisili di Makkah atas dasar kesetiaan terhadap kebenaran dan saling tolong menolong. Setelah Nabi di Madinah sistem ini terus dimantapkan sebagai modal untuk membangun negara yang kuat. Persaudaraan antara kaum Muhajirin (pendatang dari Makkah) dan Anshar (penduduk asli Madinah) segera dijalin oleh Nabi. Sistem muakhah ini dirumuskan dalam perundang-undangan resmi. Perundang-undangan ini menghasilkan hak-hak khusus di antara kedua belah pihak (Muhajirin dan Anshar) yang menjadi saudara, sampai-sampai ada yang saling mewarisi meskipun tidak ada hubungan kekerabatan. Dengan sistem ini Nabi berusaha menanggulangi berbagai persoalan yang timbul dalam masyarakat Madinah antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun kesehatan.
Kedua, ikatan iman. Islam menjadikan ikatan iman sebagai dasar paling kuat yang dapat mengikat masyarakat dalam keharmonisan, meskipun tetap membolehkan, bahkan mendorong bentuk-bentuk ikatan lain, seperti kekeluargaan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip agama. Masyarakat Madinah dibangun oleh Nabi di atas keimanan dan keteguhan terhadap Islam yang mengakui persaudaraan dan perlindungan sebagai suatu yang datang dari Allah, Rasul-Nya, dan kaum Muslimin semuanya. Sebelum itu, masyarakat Madinah khususnya dan Arab pada umumnya berkelompok sesuai dengan suku-suku, kewarganegaraan, dan kelompok-kelompok agama. Ikatan seperti itu sangat berharga karena digali dari kesatuan iman, pikiran, dan spirit. Masyarakat yang dibangun atas dasar ikatan ini terbuka bagi siapa saja yang bermaksud bergabung tanpa memandang perbedaan warna kulit, ras, dan yang sejenisnya.
Ketiga, ikatan cinta. Nabi membangun masyarakat Madinah atas dasar cinta dan saling tolong menolong. Hubungan antara sesama mukmin berpijak atas dasar saling menghormati. Orang kaya tidak memandang rendah orang miskin, tidak juga pemimpin terhadap rakyatnya, atau yang kuat terhadap yang lemah. Fondasi cinta ini dapat diperkokoh dengan saling memberikan hadiah dan kenang-kenangan. Dengan cinta inilah masyarakat Madinah dapat membangun masyarakat yang kuat.
Keempat, persamaan si kaya dan si miskin. Dalam masyarakat Madinah si kaya dan si miskin mulai berjuang bersama atas dasar persamaan Islam dan mencegah munculnya kesenjangan kelas dalam masyarakat. Persamaan dalam hal ini tampak pada perlakuan Nabi dan para shahabat terhadap Ahl al-Shuffah, yaitu sekelompok orang Islam yang miskin yang tidak memiliki tempat tinggal kemudian berlindung di sebelah kubah masjid yang biasa dinamai Shuffah. Jumlah mereka cukup banyak. Mereka mencurahkan banyak perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan terus menetap di masjid untuk beribadah. Mereka juga aktif terlibat dalam aktivitas sosial dan jihad. Karena itulah Nabi sangat perhatian terhadap mereka dengan memberikan zakat atau sedekah kepada mereka. Nabi juga mendorong para shahabat untuk melakukan hal yang sama. Dengan demikian mereka tetap melakukan aktivitas mereka dengan leluasa tanpa harus merasa tersingkir dari orang-orang yang kaya.
Kelima, toleransi umat beragama. Toleransi yang dilaksanakan pada masyarakat madinah antara sesama agama (Islam), seperti yang dilakukan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, dan adakalanya antara kaum Muslimin dengan kaum Yahudi yang berbeda agama. Toleransi ini diikat oleh aturan-aturan yang kemudian terdokumentasi dalam piagam Madinah.
Itulah lima prinsip dasar yang dibuat oleh Nabi untuk mengatur masyarakat Madinah yang tertuang dalam suatu piagam yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Madinah. Masyarakat pendukung piagam ini memperlihatkan karakter masyarakat majemuk, baik ditinjau dari segi etnis, budaya, dan agama. Di dalamnya terdapat etnis Arab Muslim, Yahudi, dan Arab non-Muslim.
Prinsip-prinsip masyarakat madani seperti itu sangat ideal untuk diterapkan di negara dan masyarakat mana pun, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi lokal dan keyakinan serta budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Namun, masih banyak konsep masyarakat madani yang berkembang di kalangan pemikir kita yang didekati dari konsep lain, bukan dari konsep seperti di atas. Salah satunya adalah konsep civil society (masyarakat sipil). Seorang pemikir Mesir, Fahmi Huwaydi (dalam Wawan Darmawan, 1999: 21), berpendapat bahwa orang pertama yang membicarakan ‘pemerintahan sipil’ (civilian government) atau masyarakat madani adalah seorang filosof Inggris, John Locke, yang telah menulis buku Civilian Government pada 1960. Setelah John Locke, di Perancis muncul JJ. Rousseau, yang terkenal dengan bukunya The Social Contract (1762). Dalam buku ini Rousseau berbicara tentang pemikiran otoritas rakyat dan perjanjian politik yang harus dilaksanakan antara manusia dan kekuasaan. Dalam hal ini ia satu tujuan dengan John Locke, yaitu mengajak manusia untuk ikut menentukan hari dan masa depannya, serta menghancurkan monopoli yang dilakukan oleh kaum elit yang berkuasa demi kepentingan manusia. Dan masih banyak pendapat lain mengenai asal usul istilah civil society yang kemudian diterjemahkan menjadi masyarakat sipil atau masyarakat madani.
Jika dicermati berbagai pendapat yang muncul tentang asal usul konsep masyarakat madani, belum ada yang memberikan prinsip-prinsip dasar yang cukup memadai dibandingkan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam praktek masyarakat Madinah yang dibangun Nabi. Karena itulah, di sini penulis lebih mengambil prinsip-prinsip yang diterapkan Nabi di masyarakat Madinah dibandingkan dari prinsip-prinsip masyarakat sipil (civil society) yang bersumber dari para pemikir Barat.
D. Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia
Sudah menjadi kewajiban kita bersama, selaku warga negara Indonesia, untuk berperan serta dalam usaha bersama bangsa kita mewujudkan masyarakat madani atau civil society di negara kita tercinta, Republik Indonesia. Terbentuknya masyarakat madani di negara kita merupakan bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yakni mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Nabi membangun masyarakat Madinah yang berperadaban memakan waktu yang cukup lama, yakni sepuluh tahun. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-Nya, yang dalam peristilahan kitab suci disebut semangat rabbaniyah (QS. Ali Imran (3): 79) atau ribbiyyah (QS. Ali Imran (3): 146). Semangat rabbaniyah (dimensi vertikal) yang tulus akan memancar dalam semangat perikemanusiaan, yaitu semangat insaniyah dan basyariyah, yakni dimensi horizontal hidup manusia. Selanjutnya semangat perikemanusiaan ini akan memancar dalam berbagai bentuk hubungan pergaulan sesama manusia yang penuh budi luhur (Nurcholish Madjid, 1999: 156).
Setelah Nabi wafat, masyarakat madani warisan Nabi hanya berlangsung selama tiga puluh tahun masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Sesudah itu, sistem sosial masyarakat madani digantikan dengan sistem lain yang lebih banyak diilhami oleh semangat kesukuan atau tribalisme Arab pra-Islam, yang kemudian dikukuhkan dengan sistem dinasti keturunan atau genealogis. Sistem ini bahkan masih dipraktekkan di beberapa negara Islam sekarang ini (Nurcholish Madjid, 1999: 157).
Dalam rangka menegakkan masyarakat madani, Nabi tidak pernah membedakan antara “orang atas”, “orang bawah”, atau keluarga sendiri. Nabi bersabda bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah karena jika “orang atas” yang melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi jika “orang bawah” melakukannya pasti dihukum. Karena itu, Nabi menegaskan, jika Fatimah, puteri kesayangannya, melakukan kejahatan, maka beliau akan menghukumnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Masyarakat madani tidak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, yang dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi. Masyarakat berperadaban memerlukan pribadi-pribadi yang dengan tulus mengingatkan jiwanya kepada wawasan keadilan. Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang bersangkutan beriman, percaya, mempercayai, dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan dalam suatu keimanan etis, artinya keimanan bahwa Tuhan menghendaki kebaikan dan menuntut tindakan kebaikan manusia kepada sesamanya. Tindakan kebaikan kepada sesama manusia itu harus didahului dengan diri sendiri menempuh hidup kebaikan, seperti dipesankan Allah kepada para Rasul (QS. al-Mu’minun (23): 51), agar mereka makan dari yang baik-baik dan berbuat kebajikan.
Tegaknya hukum dan keadilan tidak hanya perlu kepada komitmen-komitmen pribadi yang menyatakan diri dalam bentuk iktikad baik untuk hal tersebut. Iktikad baik yang merupakan buah keimanan ini harus diterjemahkan menjadi tindakan kebaikan yang nyata dalam masyarakat, berupa “amal shalih”, yaitu tindakan yang membawa kebaikan untuk sesama manusia. Tindakan kebaikan bukan untuk kepentingan Tuhan, sebab Tuhan adalah Maha Kaya, tidak membutuhkan apa pun dari manusia. Siapa pun yang melakukan kebaikan, maka dia sendirilah yang akan memetik dan merasakan hasil kebaikannya. Sebaliknya, siapa pun yang melakukan kejahatan, maka dia sendiri yang akan merasakan akibatnya (QS. Fushshilat (41): 46 dan al-Jatsiyah (45): 15).
Jika kita perhatikan apa yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari, jelas sekali bahwa nilai-nilai kemasyarakatan yang terbaik sebagian besar dapat terwujud hanya dalam tatanan hidup yang kolektif yang memberi peluang kepada adanya pengawasan sosial. Tegaknya hukum dan keadilan mutlak memerlukan suatu bentuk interaksi sosial yang memberi peluang bagi adanya pengawasan itu. Pengawasan sosial adalah konsekuensi langsung dari iktikad baik yang diwujudkan dalam tindakan kebaikan. Selanjutnya, pengawasan sosial tidak mungkin terselenggara dalam suatu tatanan sosial yang tertutup. Amal shalih atau kegiatan demi kebaikan dengan sendirinya berdimensi kemanusiaan, karena berlangsung dalam suatu kerangka hubungan sosial dan menyangkut orang banyak. Dengan demikian, masyarakat madani akan terwujud hanya jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyarakat. Keterbukaan adalah konsekuensi dari perikemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara positif dan optimis. Ajaran kemanusiaan yang suci itu membawa konsekuensi bahwa kita harus melihat sesama manusia secara optimis dan positif, dengan menerapkan prasangka baik (husnuzhan), kecuali untuk keperluan kewaspadaan seperlunya dalam keadaan tertentu. Tali persaudaraan sesama manusia akan terbina antara lain jika dalam masyarakat tidak terlalu banyak prasangka buruk (su’uzhan) akibat pandangan yang pesimis dan negatif dan negatif kepada manusia (QS. al-Hujurat (49): 12).
Tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan pluralisme, adalah kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Sebab toleransi dan pluralisme tidak lain adalah wujud dari “ikatan keadaban” (bond of civility), dalam arti bahwa masing-masing pribadi atau kelompok dalam suatu lingkungan interaksi yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri (Nurcholish Madjid, 1999: 164).
Bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk menegakkan masyarakat madani. Kita semua sangat berharap bahwa masyarakat madani akan segera terwujud dan tumbuh semakin kuat di Negara kita dalam waktu dekat. Berbagai kemajuan yang dicapai bangsa kita sejak zaman orde baru yang disusl orde reformasi dalam berbagai bidang cukup beralasan kita berpengharapan seperti itu. Namun, juga harus diwaspadai, bahwa belum semua masyarakat kita, baik elit maupun rakyat, memiliki “iktikad baik” untuk mewujudkan masyarakat madani ini dalam kehidupan bangsa kita. Kita patut bersyukur kepada Allah Swt. atas berkah dan rahmat-Nya kepada kita bangsa Indonesia, sehingga kita masih terus dapat mengisi kemerdekaan ini dengan semangat untuk menuju ke arah masyarakat yang berperadaban (masyarakat madani). Dengan dukungan mayoritas umat Islam, seharusnya masyarakat madani ini akan cepat dapat diwujudkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Karena itu, para stakeholder negara ini hendaknya memahami prinsip-prinsip masyarakat madani, sehingga dapat menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupan bermasyarakat kita.
E. Catatan Penutup
Dengan memahami uraian di atas, dapat dipahami bahwa masyarakat madani merupakan satu tatanan masyarakat suatu bangsa yang mendasarkan diri pada penguatan masyarakat sipil dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadaban. Masyarakat madani juga ditegakkan atas dasar dua semangat, yakni semangat rabbaniyah dan semangat insaniyah. Hal lain yang dituntut demi tegaknya masyarakat madani adalah masalah keterbukaan dan kebersamaan serta persamaan hak bagi semua orang untuk terlibat dalam urusan kenegaraan dan pemerintahan.
Indonesia, yang merupakan salah satu negara yang memiliki penduduk yang cukup besar dan sangat plural, memang sudah tepat ketika memilih prinsip masyarakat madani sebagai cita-cita dalam mewujudkan bentuk masyarakatnya. Prinsip masyarakat madani dapat mengeliminasi segala bentuk pertentangan dan konflik yang mungkin terjadi akibat pluralisme yang memang menjadi ciri dari bangsa kita.
Daftar Pustaka
Abdul Mun’im DZ. 1994. “Masyarakat Sipil sebagai Masyarakat Beradab”. Republika. 20 September 1994. Halaman 6.
Al-umari, Akram Dliya’. 1995. Madinan Society at the Time of the Prophet. Virginia: The International Institut of Islamic Thought.
Hikam, Muhammad AS. 1994. “Demokrasi dalam wacana Civil Society”. Republika. 10 Oktober 1994.
Nurcholish Madjid. 1997. “Dinamika Budaya Pesisir dan Pedalaman: Menumbuhkan Masyarakat Madani”. Dalam Abdullah Hafidz dkk. (Ed.). HMI dan KAHMI Menyongsong Perubahan Menghadapi Pergantian Zaman. Halaman 284-304. Jakarta: Majlis Nasional KAHMI.
—————-. 1999. “Menuju Masyarakat Madani”. Dalam Sudarno Shobron dan Mutohharun Jinan (Ed.). Islam, Masyarakat Madani, dan Demokrasi. Halaman 153-165. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Wawan Darmawan. 1999. “Masyarakat Madani: Peran Strategis Umat Islam”. Dalam Sudarno Shobron dan Mutohharun Jinan (Ed.). Islam, Masyarakat Madani, dan Demokrasi. Halaman 20-26. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar