Selasa, 11 November 2014

Akhlak Bangsa


DR. Abdul Halim Uwais, di dalam bukunya “Sebab- Sebab Runtuhnya 33 Negara” , memaparkan sejarah negara-negara Islam yang pernah berjaya bertahun-tahun, bahkan berabad-abad,  akhirnya ambruk karena kerusakan melanda negara tersebut. Para elite politiknya tenggelam di dalam kemewahan. Mereka menghambur-amburkan harta, menzalimi rakyat jelata, larut dalam  perpecahan dan perang saudara demi sebuah kekuasaan. Akhirnya, krisis multidimensi melanda seluruh sendi negara, yang berujung pada hilangnya benteng terakhir umat Islam yaitu Khilafah Utsmaniyah.
”Jika (Kami) menghendaki untuk menghancurkan suatu bangsa, maka Kami jadikan orang-orang bourjuis diantara mereka sebagai pemimpin , mereka akan berbuat jahat, sehingga tibalah saat kehancurannya, dan Kami hancurkan bangsa tersebut dengan sehancur-hancurnya ” (QS. Al Isra’ : 16)
Kata ” Fasq ” dalam ayat itu bermakna: keluar. Artinya, para pemimpin bangsa itu telah keluar dari ajaran-ajaran Islam dan tidak berkhlak mulia lagi.
Berkata Ibnu Atsir, seorang pakar Sejarah Islam: Bagi Allah sangatlah mudah untuk memenangkan Islam dan kaum muslimin, akan tetapi karena para pemimpin Islam tidak ada lagi yang mempunyai nyali untuk berjihad dan memperjuangkan agama ini,  sebaliknya masing-masing dari mereka hanya sibuk dengan kesenangan dan kemewahan dunia, dan selalu berbuat zalim  terhadap rakyatnya, (maka kekalahan niscaya akan menimpa mereka ) dan keadaan seperti ini, lebih saya takuti dari pada serbuah musuh “
Sangatlah tepat apa yang dinyatakan Ahmad Syauki bahwa: Sungguh, suatu bangsa akan selalu eksis selama mereka mempunyai akhlak. Jika akhlak sudah hilang, maka bangsa tersebut akan tumbang …”
Indonesia – sebuah bangsa yang besar – yang terpuruk menjadi bangsa lemah dengan krisis multidimensinya perlu melakukan renungan dan introspeksi: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat . Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya; karena itu mereka dimusnahkan azab dan mereka adalah orang-orang yang zalim”. ( QS An Nahl : 112-113 ).
Pada ayat tersebut Allah memberikan perumpamaan tentang sebuah negara yang aman, sentosa, subur tanahnya, berlimpah kekayaan alamnya. Tapi, karena mereka kafir terhadap nikmat-nikmat Allah, maka Allah menimpakan kepada mereka krisis multidimensi, termasuk kelaparan dan ketakutan. Mereka mendustakan para rasul dan berbuat zalim.
Ironisnya, saat negara mengalami guncangan hebat, justru ada sebagian dari kaum intelektual mengajak masyarakat untuk meninggalkan agama dan memisahkannya dari percaturan politik  kenegaraan. ”Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS Al An’am : 43-44)
Pilih Pemimpin  
Seandainya suatu bangsa bertaqwa dan beriman, pasti Allah akan mengucurkan berkah dari langit dan bumi. ”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. ” ( QS Al A’raf : 96 )
Abu Bakar As-Siddiq r.a. pernah mengirim pesan kepada tentaranya di Perang Yarmuk: ”Hendaknya kalian bersatu padu, dan ketika menghadapi musuh hendaknya kalian telah menegakkan ajaran-ajaran Allah, karena Allah akan menolong siapa yang mau menegakkan agama-Nya, sebaliknya Allah akan meninggalkan siapa yang mengingkari-Nya. Sesungguhnya kalian tidak-lah kalah karena jumlah yang sedikit, tetapi kalian kalah, ketika kalian berbuat dosa, maka hindarilah dosa-dosa tersebut “
Agar bangsa ini diberkahi Allah, maka akhlak dalam bernegara perlu ditegakkan. Al-Quran memberikan sejumlah panduan: “Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan ( QS Yusuf : 55).
Ayat ini memberikan pesan bahwa seorang muslim tidaklah sepantasnya untuk meminta kekuasaan, kecuali jika memenuhi — paling tidak — dua kriteria, yaitu “amanah” dan “capable(penguasaan dan kecakapan terhadap sesuatu pekerjaan). Karena itu, Rasulullah saw menasehati Abu Dzar r.a. agar tidak mencalonkan diri menjadi gubernur, karena jabatan tersebut merupakan amanah dan akan menjadi penyesalan pada hari kiamat jika tidak mampu melaksanakannya.
Kriteria pemimpin itu dijelaskan juga dalam al-Quran: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya (QS Al Qashas : 26)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa pemimpin pada hakikatnya adalah seorang pekerja dan pegawai yang dibayar oleh rakyat untuk melaksanakan tugas dan apa-apa yang diamanatkan kepadanya. Dan sebaik-baik pegawai adalah yang mempunyai sifat kuat pada bidangnya dan mampu menjalankan amanah. Ini dikuatkan dengan Firman Allah tentang pengangkatan Thalut sebagai Raja Bani Israel: “…Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa…” (QS Al Baqarah : 247)
Memilih pemimpin negara perlu hati-hati berdasarkan kriteria yang ideal sesuai panduan Islam. Tentu saja, faktor iman dan taqwa menjadi keteladanan utama. Jangan memilih pemimpin secara sembarangan, hanya karena faktor-faktor kekerabatan atau fanatisme kelompok, sehingga kualitas diabaikan.
Dalam Kitab as-Siyasah Syar’iyyah,  Syaikhul Islam Ibn Taimiyah mengutip hadits Rasulullah SAW yang memperingatkan kaum Muslimin tentang masalah kepemimpinan:  “Siapa yang mengangkat seseorang untuk mengelola urusan (memimpin) kaum Muslimin, lalu ia mengangkatnya, sementara pada saat yang sama dia mengetahui ada orang yang lebih layak dan sesuai (ashlah) daripada orang yang dipilihnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”(HR Al-Hakim).
Jadi, jika ingin bangsa kita mendapat kucuran berkah dari langit dan bumi, sepatutnya tidak memilih pemimpin yang tidak punya komitmen menegakkan keimanan dan ketaqwaan. Wallahu a’lam bish-shawab. (***)
Oleh: Dr. Ahmad Zein An-Najah
(Ketua Majlis Fatwa Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar