CIPUTAT (Arrahmah.com) – Berbagai cara dilakukan Barat untuk melemahkan spirit umat Islam untuk memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Salahsatunya adalah dengan memerangi Islam sebagai ideologi dan politik. Kekhawatiran Barat terhadap prediksi umat Islam bakal menjadi kekuatan ketiga (setelah Marxisme dan kapitalisme) di masa depan, membuatnya menjadi paranoid.
Hal itu diungkapkan dosen Universitas Muhammadiyah Solo Dr. H. Amir Mahmud, S.sos, M.ag dalam Mudzakarah Ilmiah bertajuk ”Masa Depan Pergerakan Islam di Indonesia” di Masjid Fathullah Syarif Hidayatullah UIN, Ciputat, Banten, Ahad (19/12/2010) lalu. Hadir sebagai pembicara, Fauzan al Ansori (Mantan Majelis Mujahidin), dan Ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdur Rahman (Wakil Amir Majelis Mujahidin).
Ketakutan itu bermula saat DR. Edward J. Byng menulis sebuah buku pada tahun 1954 dalam bahasa Jerman berjudul ”Die welt der Araber” (Dunia Arab) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (The World og The Arab) yang ketika itu rubah ke dalam bahasa Belanda menjadi ”De Derde Macht” (kekuatan ketiga). Yang menarik, buku memuat kata pengantar dari Sultan Otsmaniyah paling akhir yang sudah dimakzulkan, yaitu Sultan Abdul Majid II.
Dalam buku itu, diuraikan, bahwa suatu masa akan terjadi kebangkitan umat yang jumlahnya mencapai 400 juta. Kelompok ini adalah pemeluk agama yang satu (Islam), yang mendiami daerah yang terbentang luas, memanjang dari Tanger di sebelah barat (Afrika Utara) sampai ke Irian (Indonesia) di sebelah timur, dan garis melebarnya dari tanah tinggi Pamir (Asia Tengah) di sebelah utara sampai ke daerah timur dan selatan Benua Afika. Disebutkan, umat yang jumlahnya mencapai 1/6 penduduk dunia itu akan saling bahu membahu dengan kekuatan dunia yang sudah ada, menjadi kekuatan ketiga.
Jika Amerika dan sekutunya mempersatukan diri di dalam Pakta Atlantik, lalu Rusia dan seluruh sekutunya mempersatukan diri dalam pakta Warsawa, maka kekuatan ketiga bergabung dalam bentuk ”Pan Islamisme”. Ketakutan Islam sebagai ideologi itulah yang mendorong Barat, mengerahkan kekuatannya untuk memecah belah kekuatan umat Islam. Terbukti, dunia Arab, kini berada dalam ketiak AS, dan telah menjadi bonekanya yang patuh.
Kamuflase Islam Moderat
Dikatakan Amir Mahmud, beberapa intelektual Muslim sekuler – yang notebene merupakan jaringan komparador asing – berupaya memberikan pencitraan buruk terhadap kelompok Islam yang berkomitmen menjaga kemurnian ajaran Islam dengan sebutan kelompok Islam garis keras atau Islam fundamentalis. Bersamaan dengan itu, dikembangkanlah istilah Islam moderat – yang notebene liberal dan sekuler – untuk dijadikan tandingan untuk melemahkan kelompok Islam yang hendak memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Politik Devide et impera (adu domba) pun dijadikan ”jurus ampuh” untuk membenturkan sesama Muslim.
Kamuflase Islam Moderat
Dikatakan Amir Mahmud, beberapa intelektual Muslim sekuler – yang notebene merupakan jaringan komparador asing – berupaya memberikan pencitraan buruk terhadap kelompok Islam yang berkomitmen menjaga kemurnian ajaran Islam dengan sebutan kelompok Islam garis keras atau Islam fundamentalis. Bersamaan dengan itu, dikembangkanlah istilah Islam moderat – yang notebene liberal dan sekuler – untuk dijadikan tandingan untuk melemahkan kelompok Islam yang hendak memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Politik Devide et impera (adu domba) pun dijadikan ”jurus ampuh” untuk membenturkan sesama Muslim.
”Ada kekeliruan cara pandang dari orang yang tidak suka terhadap syariat Islam. Mereka menciptakan opini, seolah syariat Islam identik dengan kekerasan, karena dikaitkan dengan pelaksanaan hukum pidana Islam, seperti hukuman mati (qishash) bagi pembunuh, murtad dan pemberontakan, potong tangan bagi pencuri, sanksi hukuman lempar batu (rajam) bagi pezinah,” jelas Amir.
Sejumlah peneliti asing yang mempunyai kepentingan-kepentingan terhadap ideologi global seperti Sidney Jones, dimanfaatkan dalam rangka menggiring opini masyarakat untuk memberi pencitraan buruk terhadap kelompok Islam anti liberal dan sekuler. Sidney Jones pula yang melakukan penyesatan opini dengan cara mensuplai data kepada sejumlah media nasional untuk memberi penilaian buruk tentang gerakan aktivis Islam yang selama ini getol memperjuangkan syariat Islam.
Sejumlah peneliti asing yang mempunyai kepentingan-kepentingan terhadap ideologi global seperti Sidney Jones, dimanfaatkan dalam rangka menggiring opini masyarakat untuk memberi pencitraan buruk terhadap kelompok Islam anti liberal dan sekuler. Sidney Jones pula yang melakukan penyesatan opini dengan cara mensuplai data kepada sejumlah media nasional untuk memberi penilaian buruk tentang gerakan aktivis Islam yang selama ini getol memperjuangkan syariat Islam.
Paranoid Barat kian klimaks, ketika Peneliti dari kalangan mereka sendiri, meyakini terjadinya kebangkitan umat Islam. W.G Palgrave menyatakan, umat Islam bagaikan orang yang berdiri tenang di tempatnya yang kokoh kuat di tengah-tengah segala yang bergejolak.
Bahkan dalam bukunya yang berjudul ”The Future of Islam”, Scawen Blunt membuat ramalan tentang kebangkitan Islam. Ia mengemukakan, ada empat faktor yang menyebabkan kebangkitan umat Islam, yaitu: ibadah haji yang dikerjakan setiap tahun, pemusatan pemerintahan Islam yang dinamakan khilafah di Turki, adanya Tanah Suci Islam dan berkobarnya gerakan reformasi.
Tersebarnya Islam di negara-negara Eropa merupakan ancaman bagi dunia Kristen dan Yahudi. Ketakutan itu sangat beralasan, ketika orang Islam sempat mendongkel penguasa-penguasa setempat satu per satu. Barat merasa, ketika Konstantinopel yang merupakan benteng terkuat di dunia saat itu, jatuh ke tangan orang Muslim dari Kerajaan Bani Utsmaniyah, dianggap sebagai trauma sejarah dan merupakan pukulan yang sangat telak dan memalukan.
Maka sasaran pertama yang harus dilakukan untuk melumpuhkan kebangkitan Islam ialah mengeroyok Kerajaan Otsmaniyah di Turki yang dianggap sebagai pusat dunia Islam. Selanjutnya, mematikan gerakan reformasi yang dibangkitkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Syaikh Muhammad Abduh dengan gerakan Pan-Islamism-nya.
Lothrop Stoddard asal Amerika dalam bukunya “The New World of Islam” (terbit tahun 1921) menegaskan, meskipun khilafah sudah dapat ditumbangkan selama umat Islam masih dapat bebas menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah, tetap saja ancaman dan bahaya bagi Barat itu tidak akan hilang.
Seorang Peneliti Barat yang lain, Jensen, mengatakan, gerakan anti dominasi barat telah merata ke seluruh kawasan Asia, dari India sampai ke Indonesia. Oleh sebab itu, tidak berlebihan bila disimpulkan, gerakan Islam merupakan salah satu ”kekuatan dunia” yang besar, potensial dan berbeda cara pandang ideologis dalam membangun tata sosial, politik, ekonomi, bahkan peradaban dunia.
Ketika Barat merasa terancam, mulailah dilakukan serangkaian makar dengan target Islam tidak dapat hadir menjadi kekuatan internasional (International forces) yang dapat menghantui dan menghancurkan negara adikuasa seperti Amerika. Ketika Afghanistan gagal ditundukkan, Amerika dan sekutunya, mulai membuat isu terorisme hingga ke Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Salah satu proyek Barat untuk negeri-negeri Muslim adalah keinginannnya untuk meninjau ulang makna jihad, thogut dan khilafah.
Islam Agama Perlawanan
Dikatakan Amir Mahmud, gerakan Islam di Indonesia bukan saja ingin tetap menjaga dan meneruskan kesinambungannya dengan sejarah, tapi juga ingin tetap melestarikan syariat Islam. Untuk mewujudkan cita-citanya, terdapat kesadaran dari kalangan umat Islam sendiri akan pentingnya Islam sebagai sistem kehidupan. Masa nabi Muhammad Saw dan Khulafaurasyidin dijadikan sebagai pola, model dan rujukan sekaligus sebagai landasan perjuangan. Karena Islam dipandang sebagai alternatif, sehingga menjadi ancaman bagi ideologi lainnya.
”Ketika Islam dipandang sebagai kekuatan ketiga, agama bukan semata ritual dan seremonial yang sakral, tapi lebih dari itu, menjadi kekuatan besar sekaligus spirit, sumber inspirasi dalam melawan penindasan. Dan ketika penindasan itu menimpa kaum Muslimin, sesama Muslim di belahan dunia akan merasakan luka yang sama. Tak heran jika umat Islam paling reaktif menentang penindasan Barat di negeri-negeri Muslim,” ujar Amir.
Sejarah mencatat, ada banyak peristiwa perlawanan umat Islam di Tanah Air, ketika harga dirinya terinjak-injak kekuatan imperialisme. Mulai dari Sumatera Barat (1821-1830) yang lebih dikenal dengan Perang Padri yang dipimpin Imam Bonjol. Kemudian perlawanan di Jawa Tengah (1826-1830) dikenal dengan Perang Diponogoro. Belum lagi di Aceh, termasuk pemberotakan Ciomas (1886) dan Pemberontakan Banten (1888).
Dengan munculnya berbagai kekuatan Islam, yang dimulai dari gerakan pemurnian ajaran Islam dengan gerakan wahabi sampai kepada gerakan penyatuan kesadaran politik kaum muslimin dengan Pan Islamismenya, Ikhwanul Muslimin, Jama’at islam, Hizb Tahrir, JAT dan sebagainya, membuktikan masih adanya gerakan Islam sebagai terobosan ijtihad yang mampu membakar mampu semangat pembaruan para pemikir Islam untuk merebut kembali harga diri umat ini di tengah ini percaturan dan konflik peradaban Timur – Barat.
Yang harus menjadi perhatian setiap Muslim dan aktivis gerakan Islam, lanjut Amir Mahmud, adalah memahami dan menyadari kelemahan yang menyebabkan tertundanya kebangkitan Islam, diantaranya: hilangnya tanggungjawab dakwah dan jihad pada umat ini, kurangnya tarbiyah yang baik, pemisahan kepemimpinan addien dan siyasah, adanya penyakit firaunisme, sektarisme dan vested interst yang menyebabkan disintegrasi umat Islam.
Amir Mahmud mengingatkan, aktivis pergerakan Islam harus memahami strategi musuh-musuh Islam, seperti upaya merubah al Islam denga jalan memberikan gambaran yang salah tentang Islam. Sebagai contoh, menafsirkan Al Qur’an dengan cara menggunakan metode hermeneutik, memisahkan umat Islam dari ajarannya yang hakiki, memisahkan dan mempertentangkan golongan umat Islam yang satu terhadap golongan Islam yang lain. (Ahmad Zidan/arrahmah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar