Bagaimana
bisa disimak dalam buku ini, peradaban Barat sejatinya merupakan ramuan dari
unsur-unsur Yunani Kuno, Kristen, dan tradisi paganisme Eropa. Meskipun Barat
telah menjadi sekular-liberal, namun sentimen-sentimen keagamaan Kristen terus
mewarnai kehidupan mereka. Jika dalam masa kolonialisme klasik mereka mengusung
jargon “Gold, Gospel, dan Glory”, maka di era modern, dalam beberapa hal,
semboyan itu tidak berubah. Jika dianalisis secara mendalam, serbuan AS
terhadap Irak tahun 2003 dan dukungannya yang terus-menerus terhadap Israel,
juga tidak terlepas dari unsur “Gold, Gospel, dan Glory”. Meskipun berbeda
dalam banyak hal, unsur-unsur Barat sekular-liberal kadang bisa bertemu dengan
kepentingan “misi Kristen”, atau “sentimen Kristen.”
Di masa klasik dulu, seorang misonaris
legendaris Henry Martyn, menyatakan, “Saya datang menemui umat Islam,
tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan pasukan tapi dengan
akal sehat, tidak dengan kebencian tapi dengan cinta.” Ia berpendapat, bahwa
Perang Salib telah gagal. Karena itu, untuk “menaklukkan” dunia Islam, dia
mengajukan resep: gunakan “kata, logika, dan cinta”. Bukan kekuatan senjata
atau kekerasan. Misionaris lainnya, Raymond Lull, juga menyatakan hal senada,
“Kulihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci di seberang lautan; dan kupikir
mereka akan merebutnya dengan kekuatan senjata; tapi akhirnya semua hancur
sebelum mereka mendapatkan apa yang tadinya ingin mereka rebut.”
Menurut Eugene Stock, mantan
sekretaris editor di “Church Missionary Society”, tidak ada figur yang lebih
heroik dalam sejarah Kristen dibandingkan Raymond Lull. Lull, kata Stock,
adalah “misionaris pertama bahkan terhebat bagi kaum Mohammedans”. Itulah resep
Lull: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan “darah dan air mata”, tetapi dengan
“cinta kasih” dan doa.
Bagi para misionaris Kristen ini,
mengkristenkan kaum Muslim adalah satu keharusan. Jika tidak, maka dunia pun
akan diislamkan. Dalam laporan tentang “Centenary Conference on the Protestant
Missions of the World” di London tahun 1888, tercatat ucapan Dr. George F.
Post, “Kita harus menghadapi Pan-Islamisme dengan Pan-Evangelisme. Ini
pertarungan hidup dan mati.” Selanjutnya, dia berpidato:
“..kita harus masuk ke Arabia; kita harus
masuk ke Sudan; kita harus masuk ke Asia Tengah; dan kita harus meng-Kristenkan
orang-orang ini atau mereka akan berbaris melewati gurun-gurun pasir mereka,
dan mereka akan mereka akan menyapu seperti api yang melahap ke-Kristenan kita
dan menghancurkannya. Ringkasnya, misionaris ini menyatakan: Kristenkan orang
Islam, atau mereka akan mengganyang Kristen!”
Kekuatan “kata” yang dipadu dengan
“kasih” seperti yang diungkapkan Henry Martyn perlu mendapat catatan serius.
Konon, “orang Jawa” – sebagaimana huruf Jawa -- akan mati jika
“dipangku”. Jika seseorang dibantu, dibiayai, diberi perhatian yang besar
(kasih), maka hatinya akan luluh. Pendapatnya bisa goyah. Bisa, tapi tidak
selalu. Simaklah kasus Ahmad Wahib dan Nurcholish Madjid, bagaimana pemikiran
dan keyakinan mereka berubah. Simaklah, sebagaimana dipaparkan dalam buku ini,
bagaimana kekuatan ide “freedom” dan “liberalisme” mampu menggulung sebuah
imperium besar bernama Turki Utsmani. Ketika kaum Muslim tidak lagi memahami
Islam dengan baik, tidak meyakini Islam, dan menderita penyakit mental minder
terhadap peradaban Barat, maka yang terjadi kemudian adalah upaya imitasi
terhadap apa saja yang dikaguminya. Abdullah Cevdet, seorang tokoh Gerakan
Turki Muda menyatakan, “Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban
Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga
mawarnya mau pun durinya sekaligus.”
Sekularisme dan liberalisme di Barat
telah memukau banyak umat manusia. Gerakan pembebasan (Liberation
movement) di berbagai dunia mendapat inspirasi kuat dari dua peristiwa
besar, yaitu “Revolusi Perancis” dan “kemerdekaan AS”. A New Encyclopedia of
Freemasonry (1996), mencatat bahwa George Washington, Thomas Jefferson, John
Hancock, Benjamin Franklin adalah para aktivis Free Masonry. Begitu juga tokoh
gerakan pembebasan Amerika Latin Simon Bolivar dan Jose Rigal di Filipina. Ide
pokok Freemasonry adalah “Liberty ,
Equality, and Fraternity”. Di bawah jargon inilah, jutaan orang
“tertarik” untuk melakukan apa yang disebut sebagai “kemerdekaan abadi semua
bangsa dari tirani politik dan agama”. Dalam Revolusi Perancis, jargon
Freemasonry itu juga menjadi jargon resmi.
Dalam konteks Utsmani ketika itu,
Sultan Abdulhamid II diposisikan sebagai “kekuatan tiran”. Dalam konteks
gerakan pembebasan pemikiran, tampaknya, yang diposisikan sebagai
“ecclesiastical tyranny” adalah “teks-teks Al-Quran dan Sunnah”, juga
khazanah-khazanah Islam klasik karya para ulama Islam terkemuka. Perlu
ditelusuri lebih jauh, seberapa jauh hubungan antara gerakan liberal dalam
konteks pemikiran Islam dengan gerakan Freemasonry. Rene Guenon, guru dari
Frithjof Schuon, (pelopor gagasan pluralisme), misalnya, adalah aktivis
Freemasonry. Adakah misalnya pengaruh aktivitas Afghani di Freemasonry dengan
pemikiran Abduh atau tafsir al-Manarnya Rasyid Ridla? Masih perlu
diteliti. Yang jelas, jargon-jargon pembebasan dari “teks”, dekonstruksi tafsir
Quran (lalu menggantinya dengan metode hermenuetika yang banyak digunakan dalam
tradisi Bible), dan sebagainya, cukup sering terungkap.
Kekuatan “kata” dan “kasih” terbukti
ampuh dalam sejarah dalam menggulung kekuatan-kekuatan Islam, yang biasanya
disimbolkan dengan ungkapan-ungkapan tidak simpatik, seperti “ortodoks”,
“beku”, dan “berorientasi masa lalu”, “emosional”. Sejarah menunjukkan,
kolaborasi cendekiawan Turki, Kristen Eropa, dan Zionis Yahudi berhasil
menggulung Turki Utsmani. Ironisnya, dua dari empat orang yang menyerahkan surat pemecatan Sultan
Abdulhamid II pada 1909, adalah non-Muslim. Salah satunya, Emmanuel Karasu
(tokoh Yahudi).
Pada zaman kelahiran kembali
(Renaissance) Barat dan zaman Reformasi (Reformation) Barat, pencitraan buruk
terus berlanjut. Marlowes Tamburlaine menuduh al-Quran sebagai “karya setan”.
Martin Luther menganggap Muhammad sebagai orang jahat dan mengutuknya sebagai
anak setan. Pada zaman Pencerahan Barat, Voltaire menganggap Muhammad sebagai
fanatik, ekstremis, dan pendusta yang paling canggih. Biografi Rasulullah Saw
beserta al-Quran terus menjadi target. Snouck Hurgronje mengatakan: "Pada
zaman skeptik kita ini, sangat sedikit sekali yang di atas kritik, dan suatu
hari nanti kita mungkin mengharapkan untuk mendengar bahwa Muhammad tidak
pernah ada.”
Harapan Hurgronje ini selanjutnya
terealisasikan dalam pemikiran Klimovich, yang menulis sebuah artikel
diterbitkan pada tahun 1930 dengan berjudul "Did Muhammad Exist?"
Dalam artikel tersebut, Klimovich menyimpulkan bahwa semua sumber informasi
tentang kehidupan Muhammad adalah buatan belaka. Muhammad adalah “fiksi yang
wajib” karena selalu ada asumsi “setiap agama harus mempunyai pendiri”. Sikap
para orientalis seperti itu tidak bisa disederhanakan kategorisasinya menjadi
orientalis klasik yang berbeda dengan orientalis kontemporer.
Orientalis kontemporer tetap
mengusung gagasan orientalis klasik sekalipun dengan kadar, cara dan strategi
yang berbeda. Intinya sama saja yaitu mengingkari kenabian Muhammad dan
kebenaran al-Quran. Penolakan seperti itu adalah loci communes (common places)
dalam pemikiran para orientalis. Ini bisa dimengerti karena eksistensi agama
mereka tergugat dengan munculnya Islam. Karena hal ini juga, wajar jika kajian
mereka kepada Rasulullah Saw dan al-Quran tidak dibangun dari keimanan,
sebagaimana sikap seorang Muslim.
Para orientalis yang mengkaji bidang
teologi dan filsafat Islam sejak D.B. MacDonald, Alfred Gullimaune, Montgomery
Watt, atau sebelumnya hingga Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael Frank, Richard
J. McCarthy, Harry A. Wolfson, Shlomo Pines, dan lain-lain mempunyai framework
yang hampir sama. Di antara asumsi yang umum mereka pegang erat-erat adalah
bahwa filsafat, sains, dan hal-hal yang rasional tidak ada akarnya dalam Islam.
Islam hanyalah "carbon copy" dari pemikiran Yunani. Padahal diskursus
filsafat di Ionia tidak ada apa-apanya
dibandingkan wacana yang bersifat metafisis pada awal tradisi pemikiran Islam
yang berkembang di zaman Nabi dan sahabat. Artinya para orientalis tidak mau
mengakui bahwa pandangan hidup Islam adalah unsur utama berkembangnya peradaban
Islam.
Walhasil, pembahasan Barat oleh
Adian dalam buku ini cukup lengkap, mulai dari siapa yang disebut Barat,
pandangan Barat terhadap agama, perselingkuhan Barat dengan zionisme, pandangan
Barat terhadap Islam-fundamenlisme--terorisme, benturan peradaban, invasi Barat
dalam pemikiran Islam dan the end of the West.
Buku ini merupakan salah satu karya
terbaik Adian Husaini. Studi Doktornya di ISTAC-IIUM, makin menambah kedalaman
pemikiran Adian dalam membedah “kulit dan jeroan” Peradaban Barat. Tidak
heran, bila buku dengan cover berwajah klasik ini, sarat dengan
referensi-referensi ilmiah baik karya ilmuwan klasik maupun kontemporer.
Karena itu buku ini sangat layak dijadikan referensi dalam meneropong tingkah
laku kebijakan dan politik Barat di dunia saat ini. Sehingga kita tidak
terperosok jauh mengambil dan memuja Barat dalam segala hal.
Pemikiran Barat tentu tidak semuanya
kita tolak mentah-mentah. Ada
hal-hal yang baik, misalnya dalam hal sains dan teknologi, yang bisa kita ambil
dari Barat. Akhirnya kita ingat kata-kata Sayid Qutb : "Dalam bidang
ekonomi, seseorang tidak boleh memaksakan diri berutang sebelum ia meninjau
terlebih dahulu kekayaan yang dimilikinya, masih cukupkah atau memang tidak
mencukupi. Demikian pula halnya dengan negara, suatu negara tidak boleh
mengimpor barang dari negara lain sebelum ia meninjau kekayaan yang
dimilikinya, dan juga kemampuan yang ada padanya… Becermin dari hal ini, kita
bisa bertanya, 'Tidakkah kekayaan jiwa, kekayaan pemikiran, dan kekayaan hati
itu bisa dibangun, sebagaimana halnya dengan kekayaan material yang ada pada
diri manusia?' Pasti dapat! Apalagi kita yang berada di Mesir, dan yang berada
di negara-negara Islam. Kekayaan dan modal semangat serta konsep kita
belum akan ambruk sepanjang kita tidak berpikir untuk mengimpor prinsip-prinsip
dan ideologi, serta meminjam sistem dan aturan dari negara-negara di balik awan
dan di seberang lautan.