Senin, 22 Februari 2016

Jurnal Pemikiran Islam 'ISLAMIA', Jawaban Terhadap Pemikiran Islam Sekuler dan Liberal

Baca juga : Gerakan Eljihan : 

imageKelompok Tandingan Islam Liberal Didirikan di Surabaya
Gerakan sekularisme (gerakan anti nilai-nilai Islami atau pemisahan nilai-nilai agama dengan dunia) yang digulirkan oleh mereka yang mengklaim diri sebagai (Islam) Liberal menjadi ancaman serius umat Islam Indonesia. Pasalnya, gerakan ini bakal mengikis habis upaya penerapan nilai-nilai Islami dalam kehidupan sosial, politik, budaya, hukum dan sebagainya. Bahkan, mereka mengangggap teks Al-Qur’an itu harus dikritik (hermeneutika) sebagaimana Bible dikritik oleh para teolog Kristen. Akibatnya, ayat-ayat Al-Qur’an yang muhkamat menjadi mutasyabihat, yang qath’iy menjadi dzanny, yang ma’lum menjadi majhul, yang yaqin menjadi dzanny, dan selanjutnya.

Singkatnya, Al-Qur’an dianggap tidak suci lagi sebagaimana Bible dan Taurat diselewengkan pemeluknya sendiri.

Menghadapi gerakan kaum Liberal, para pemuja tradisi Barat itu, sejumlah ilmuwan muda dari International Institute of Islamic Thougth and Civilatition (ISTAC) International Islamic University of Malaysia (IIUM) meluncurkan jurnal pemikiran dan peradaban Islam dengan nama “ISLAMIA.”

Jurnal tiga bulanan ini dimaksudkan untuk meng-counter- isu-isu atau wacana-wacana miring tentang Al-Qur’an, Sya’riah Islam, Hadis Nabi Saw, dan lain-lainnya.

“Tantantangan sekulurisme di Indonesia lebih serius dan berbahaya dibanding di Malaysia. Santri-santri pondok pesantren sudah kena virus sekularisasi. Para petinggi ormas Islam dan perguruan tinggi juga banyak yang terjebak dengan ide-ide atau isu-isu yang diimpor dari para orintalis itu,”ujar dewan redaksi Adian Husaini MA.

imageAdian, yang juga mahasiswa S3 ISTAC, itu mengaku heran dan kaget dengan sikap para tokoh Islam yang begitu mudah mengekor teori-teori Barat. “Kenapa mereka tidak kritis dengan ide-ide Barat itu,”sambungnya. Dalam kunjungannya ke beberapa kampus dalam acara “Workshop Pemikiran dan Peradaban Islam”, banyak mahasiswa dan guru besar di Universitas Islam Negeri (UIN) di Jakarta maupun Yogyakarta dan tokoh Muhammdiyah yang secara mentah-mentah mengadopsi ide-ide itu. “Mereka ini harus diberi pencerahan. Karena yang mereka kutip untuk dijadikan rujukan itu hanya satu sumber saja,”tuturnya.

DR. Ugi Suharto, dosen ISTAC, menyatakan, upaya mereka mengkritik Al-Qur’an dengan cara hermeneutik adalah dalam rangka menjatuhkan validitas Al-Qur’an. “Dan ini tidak menguntungkan kaum Muslimin,”tutur anggota dewan redaksi ISLAMIA itu. Para kaum liberal mengikuti jejak para teolog dan orientalis itu lantaran mereka tidak paham betul dengan sejarah hermeutika Bible. “Mereka mau mensejajarkan nash Al-Qur’an dengan Bible. Padahal sejarahnya berbeda,”sambung doktor ekonomi yang fasih tentang ulumul Qur’an dan Hadis.

Direktur Utama ISLAMIA Eddy Setiawan berharap, dengan lahirnya ISLAMIA Barat juga mengakui kontribusi Islam terhadap peradaban dunia. “Saat ini ada upaya dari kalangan Barat untuk mengatakan bahwa Islam tak punya andil dalam pembangunan,”paparnya. Ia menambahkan, ISLAMIA akan terbit terus. Jadi ini bukan yang pertama dan bukan yang terakhir. (na/sf/eramuslim)

Islam Liberal, Pemurtadan Berlebel Islam

Counter Liberalisme Oleh : Fakta 22 Feb 2004 - 8:11 am

Islam Liberal atau JIL (Jaringan Islam Liberal) adalah kemasan baru dari kelompok lama yang orang-orangnya dikenal nyeleneh. Kelompok nyeleneh itu setelah berhasil memposisikan orang-orangnya dalam jajaran yang mereka sebut pembaharu atau modernis, kini melangkah lagi dengan kemasan barunya, JIL.

Mula-mula yang mereka tempuh adalah mengacaukan istilah. Mendiang Dr Harun Nasution direktur Pasca Sarjana IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Jakarta berhasil mengelabui para mahasiswa perguruan tinggi Islam di Indonesia, dengan cara mengacaukan istilah. Yaitu memposisikan orang-orang yang nyeleneh sebagai pembaharu. Di antaranya Rifa'at At-Thahthawi (orang Mesir alumni Paris yang menghalalkan dansa-dansi laki perempuan campur aduk) oleh Harun Nasution diangkat-angkat sebagai pembaharu dan bahkan dibilang sebagai pembuka pintu ijtihad.

Hingga posisi penyebar faham menyeleweng itu justru didudukkan sebagai pembaharu atau modernis (padahal penyeleweng agama).

Akibatnya, dikesankanlah bahwa posisi Rifa'at At-Thahthawi itu sejajar dengan Muhammad bin Abdul Wahab pemurni ajaran Islam di Saudi Arabia. Padahal hakekatnya adalah dua sosok yang berlawanan. Yang satu mengotori pemahaman Islam, yang satunya memurnikan pemahaman Islam. Pemutar balikan fakta dan istilah itu disebarkan Harun Nasution secara resmi di IAIN dan perguruan tinggi Islam se-Indonesia lewat buku-bukunya, di antaranya yang berjudud Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, terbit sejak 1975.

Pengacauan istilah itu dilanjutkan pula oleh tokoh utama JIL yakni Nurcholish Madjid. Dia menggunakan cara-cara Darmogandul dan Gatoloco, yaitu sosok penentang dan penolak syari'at Islam di Jawa yang memakai cara: Mengembalikan istilah kepada bahasa, lalu diselewengkan pengertiannya.

Darmogandul dan Gatoloco itu menempuh jalan: Mengembalikan istilah kepada bahasa, kemudian bahasa itu diberi makna semaunya, lalu dari makna bikinannya itu dijadikan hujjah/ argument untuk menolak syari'at Islam.

Coba kita bandingkan dengan yang ditempuh oleh Nurcholish Madjid: Islam dikembalikan kepada al-Din, kemudian dia beri makna semau dia yaitu hanyalah agama (tidak punya urusan dengan kehidupan dunia, bernegara), lalu dari pemaknaan yang semaunya itu untuk menolak diterapkannya syari'at Islam dalam kehidupan.

Kalau dicari bedanya, maka Darmogandul dan Gatoloco menolak syari'at Islam itu untuk mempertahankan Kebatinannya, sedang Nurcholish Madjid menolak syari'at Islam itu untuk mempertahankan dan memasarkan Islam Liberal dan faham Pluralismenya. Dan perbedaan lainnya, Darmogandul dan Gatoloco adalah orang bukan Islam, sedang Nurcholish Madjid adalah orang Islam yang belajar Islam di antaranya di perguruan tinggi Amerika, Chicago, kemudian mengajar pula di perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia. Hanya saja cara-cara menolak Syari'at Islam adalah sama, hanya beda ungkapan-ungkapannya, tapi caranya sama.

Untuk lebih jelasnya, mari kita simak kutipan tulisan Nurcholish Madjid sebagai berikut:

Kutipan:
"…sudah jelas, bahwa fikih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern, memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern dalam segala aspeknya, sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama." (Artikel Nurcholish Madjid).

Tanggapan:
Kalau Gatoloco menolak syari'at dengan cara mengkambing hitamkan kambing curian, maka sekarang generasi Islam Liberal menolak syari'ah dengan meganggap fiqh sudah kehilangan relevansinya. Sebenarnya, sekali lagi, sama saja dengan Gatoloco dan Darmogandul itu tadi.

Tuduhan bahwa fiqh telah kehilangan relevansinya, itu adalah satu pengingkaran yang sejati. Dalam kenyataan hidup ini, di masyarakat Islam, baik pemerintahnya memakai hukum Islam (sebut saja hukum fiqh, karena memang hukum praktek dalam Islam itu tercakup dalam fiqh) maupun tidak, hukum fiqh tetap berlaku dan relevan. Bagaimana umat Islam bisa berwudhu, sholat, zakat, puasa, nikah, mendapat bagian waris, mengetahui yang halal dan yang haram; kalau dia anggap bahwa fiqh sudah kehilangan relevansinya? Bahkan sampai di zaman modern sekarang ini pun, manusia yang mengaku dirinya Muslim wajib menjaga dirinya dari hal-hal yang haram. Untuk itu dia wajib mengetahui mana saja yang haram. Dan itu perinciannya ada di dalam ilmu fiqh.

Seorang ahli tafsir, Muhammad Ali As-Shobuni yang jelas-jelas menulis kitab Tafsir Ayat-ayat Hukum, Rowaai'ul Bayan, yang dia itu membahas hukum langsung dari Al-Qur'an saja masih menyarankan agar para pembaca merujuk kepada kitab-kitab fiqh untuk mendapatkan pengetahuan lebih luas lagi. Tidak cukup hanya dari tafsir ayat ahkam itu.
Faham JIL

Secara mudahnya, JIL itu menyebarkan faham yang menjurus kepada pemurtadan. Yaitu sekulerisme, inklusifisme, dan pluralisme agama.

Sekulerisme adalah faham yang menganggap bahwa agama itu tidak ada urusan dengan dunia, negara dan sebagainya. Inklusifisme adalah faham yang menganggap agama kita dan agama orang lain itu posisinya sama, saling mengisi, mungkin agama kita salah, agama lain benar, jadi saling mengisi. Tidak boleh mengakui bahwa agama kita saja yang benar. (Ini saja sudah merupakan faham pemurtadan). Lebih-lebih lagi faham pluralisme, yaitu menganggap semua agama itu sejajar, paralel, prinsipnya sama, hanya beda teknis. Dan kita tidak boleh memandang agama orang lain dengan memakai agama yang kita peluk. (Ini sudah lebih jauh lagi pemurtadannya). Jadi faham yang disebarkan oleh JIL itu adalah agama syetan, yaitu menyamakan agama yang syirik dengan yang Tauhid.

Tampaknya orang-orang yang pikirannya kacau dan membuat kekacauan agama seperti itu adalah yang telah merasakan celupan dari pendeta, atau Yahudi, atau Barat, atau yang dari awalnya bergaul di lingkungan faham sesat Ahmadiyah dan sebagainya atau di lingkungan ahli bid'ah.

Berikut ini contoh nyata, Ahmad Wahib yang mengaku sekian tahun diasuh oleh pendeta dan Romo. Kemudian fahamnya yang memurtadkan pun disebarkan oleh Johan Effendi, tokoh JIL yang jelas-jelas anggota resmi aliran sesat Ahmadiyah. Di antara fahamnya sebagai berikut:

Ahmad Wahib Menafikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai Dasar Islam

Setelah Ahmad Wahib berbicara tentang Allah dan Rasul-Nya dengan dugaan dugaan, "menurut saya" atau "saya pikir", tanpa dilandasi dalil sama sekali, lalu di bagian lain, dalam Catatan Harian Ahmad Wahib ia mencoba menafikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai dasar Islam. Dia ungkapkan sebagai berikut:

Kutipan:
" Menurut saya sumber-sumber pokok untuk mengetahui Islam atau katakanlah bahan-bahan dasar ajaran Islam, bukanlah Qur'an dan Hadits melainkan Sejarah Muhammad. Bunyi Qur'an dan Hadits adalah sebagian dari sumber sejarah dari sejarah Muhammad yang berupa kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri. Sumber sejarah yang lain dari Sejarah Muhammad ialah: struktur masyarakat, pola pemerintahannya, hubungan luar negerinya, adat istiadatnya, iklimnya, pribadi Muhammad, pribadi sahabat-sahabatnya dan lain-lainnya." (Catatan Harian Ahmad Wahib, hal 110, tertanggal 17 April 1970).

Tanggapan:
Ungkapan tersebut mengandung pernyataan yang aneka macam.

Menduga-duga bahwa bahan-bahan dasar ajaran Islam bukanlah Al-Quran dan Hadits Nabi saw. Ini menafikan Al-Quran dan Hadits sebagai dasar Islam.

Al-Qur'an dan Hadits adalah kata-kata yang dikeluarkan oleh Muhammad itu sendiri. Ini mengandung makna yang rancu, bisa difahami bahwa itu kata-kata Muhammad belaka. Ini berbahaya dan menyesatkan. Karena Al-Qur'an adalah wahyu dari Allah SWT yang dibawa oleh Malaikat Jibril, disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun lebih. Jadi Al-Qur'an itu Kalamullah, perkataan Allah, bukan sekadar kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri seperti yang dituduhkan Ahmad Wahib.

Allah SWT menantang orang yang ragu-ragu:
"Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar." (QS Al-Baqarah: 23).

Al-Qur'an dan Hadits dia anggap hanya sebagian dari sumber sejarah Muhammad, jadi hanya bagian dari sumber ajaran Islam, yaitu Sejarah Muhammad. Ini akal-akalan Ahmad Wahib ataupun Djohan Effendi, tanpa berlandaskan dalil.

Al-Qur'an dan Hadits disejajarkan dengan iklim Arab, adat istiadat Arab dan lain-lain yang nilainya hanya sebagai bagian dari Sejarah Muhammad. Ini menganggap Kalamullah dan wahyu senilai dengan iklim Arab, adat Arab dan sebagainya. Benar-benar pemikiran yang tak bisa membedakan mana emas dan mana tembaga. Siapapun tidak akan menilai berdosa apabila melanggar adat Arab.

Tetapi siapapun yang konsekuen dengan Islam pasti akan menilai berdosa apabila melanggar Al-Qur'an dan AAs-Sunnah. Jadi tulisan Ahmad Wahib yang disunting Djohan Effendi iitu jjelas mmerusak pemahaman Islam dari akarnya. Ini sangat berbahaya, karena landasan Islam yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah/ Hadits telah dianggap bukan landasan Islam, dan hanya setingkat dengan adat Arab. Mau ke mana arah pemikiran duga-duga tapi sangat merusak Islam semacam ini?

Pandangan-pandangan berbahaya semacam itulah yang diangkat-angkat orang pluralis (menganggap semua agama itu paralel, sama, sejalan menuju keselamatan, dan kita tidak boleh melihat agama orang lain pakai agama yang kita peluk) yang belakangan menamakan diri sebagai Islam Liberal.
Tokoh-tokoh Islam Liberal

Siapa sajakah yang mereka daftar sebagai Islam Liberal?
Dalam internet milik mereka, ada sejumlah nama. Kami kutip sebagai berikut:
"Beberapa nama kontributor JIL (Jaringan Islam Liberal, pen) adalah sebagai berikut:
Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
Charles Kurzman, University of North Carolina.
Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko.
Masdar F. Mas'udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta.
Goenawan Mohammad, Majalah Tempo, Jakarta.
Edward Said
Djohan Effendi, Deakin University, Australia.
Abdullah Ahmad an-Naim, University of Khartoum, Sudan.
Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung.
Asghar Ali Engineer.
Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Mohammed Arkoun, University of Sorbone, Prancis.
Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.
Sadeq Jalal Azam, Damascus University, Suriah.
Said Agil Siraj, PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Jakarta.
Denny JA, Universitas Jayabaya, Jakarta.
Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta.
Budi Munawar Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta.
Ihsan Ali Fauzi, Ohio University, AS.
Taufiq Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
Hamid Basyaib, Yayasan Aksara, Jakarta.
Ulil Abshar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
Luthfi Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
Saiful Mujani, Ohio State University, AS.
Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok -Jakarta.
Syamsurizal Panggabean, Universitas Gajahmada, Yogyakarta.

Mereka itu diperlukan untuk mengkampanyekan program penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif. Program itu mereka sebut "Jaringan Islam Liberal" (JIL).
Penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif itu di antaranya disiarkan oleh Kantor Berita Radio 68H yang diikuti 10 Radio; 4 di Jabotabek (Jakarta Bogor, Tangerang, Bekasi) dan 6 di daerah.

Di antaranya Radio At-Tahiriyah di Jakarta yang menyebut dirinya FM Muslim dan berada di sarang NU tradisionalis pimpinan Suryani Taher, dan juga Radio Unisi di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Dua Radio Islam itu ternyata sebagai alat penyebaran Islam Liberal, yang fahamnya adalah pluralis, semua agama itu sama/ paralel, dan kita tak boleh memandang agama lain dengan pakai agama kita. Sedang faham inklusif adalah sama dengan pluralis, hanya saja memandang agama lain dengan agama yang kita peluk. Dan itu masih dikritik oleh orang pluralis.

Itulah pemurtadan lewat jalur yang menggunakan nama Islam dan orang-orang yang mengaku dirinya Muslim.
Menghadapi Islam Liberal


Untuk menghadapi pemurtadan yang diusung Islam Liberal itu sudah ada tuntunan dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Di antaranya ayat:
"Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku." (QS Al-Kaafiruun/ 109: 6). [/color]

Ibrahim Al-Khalil dan para pengikutnya berkata kepada kaumnya, orang-orang musyrikin:

"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja." (Al-Mumtahanah/ 60: 4) (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, Darul Fikr, Beirut, hal 509).

Dalam hadits ditegaskan:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: "Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka." (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw ilaa jamii'in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi kita saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).

Faham inklusifisme dan pluralisme agama yang diusung oleh JIL jelas bertentangan dengan firman Allah SWT dan sabda Nabi saw. Berarti faham JIL itu adalah untuk merobohkan ayat dan hadits, maka wajib diperangi secara ramai-ramai. Kalau tidak maka akan memurtadkan kita, anak-anak kita, dan bahkan cucu-cicit kita.[]

Dari Aldakwah.com
Oleh: Drs. Hartono Ahmad Jaiz

Kesesatan Ulil Abshar Abdalla dalam Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam

Kesesatan Ulil Abshar Abdalla dalam Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam

Counter Liberalisme Oleh : Somad Karim 01 Jan 2003 - 1:00 am

image Tulisan Ulil Abshar-Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Jakarta : “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” yang dimuat di Kompas pada tanggal 18 November 2002 mengandung banyak kekeliruan yang mendasar.

Di situ Ulil menganggap bahwa Islam adalah satu agama yang dapat dirubah oleh manusia sesuai dengan perkembangan zaman. Ulil juga mengatakan bahwa ajaran-ajaran Islam seperti jilbab, potong tangan, qishas, dan lain-lain tak lebih dari budaya Arab yang tak perlu diikuti. Ulil menyatakan bahwa seorang perempuan muslim boleh menikahi pria non muslim serta semua agama adalah benar.

Semua pernyataan Ulil di atas, bertentangan dengan perintah Allah yang tercantum dalam kitab suci Al Qur’an.

Sesungguhnya pedoman ummat Islam adalah Al Qur’an:
"Kitab al-Qur'an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa." (QS.Al-Baqarah:2).

Karena itu, saya mengajak ummat Islam untuk mengkaji ayat-ayat Al Qur’an untuk mengetahui apakah pernyataan Ulil selaras atau bertentangan dengan Al Qur’an.


Ulil:
> SAYA meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah "organisme" yang hidup;
> sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia.
> Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu
> dianggap sebagai "patung" indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.
> …
> Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai
> denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.


Pernyataan Ulil di atas bertentangan dengan ayat berikut:
"…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmut-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…" (Al Maidah 3).

Jika agama Islam harus disesuaikan dengan hawa nafsu manusia, maka agama Islam harus disesuaikan dengan manusia yang mana? Sekarang ada sekitar 7 milyar manusia dengan ribuan paham dan aliran yang berbeda bahkan ada yang saling bertentangan satu sama lain, misalnya Kapitalisme, Liberalisme, Sosialisme, Komunisme, dan lain-lain. Agama Islam harus disesuaikan ke paham buatan manusia yang mana?

Pada zaman Ibrahim, Raja Namrudz beserta ummatnya menyembah berhala, sementara pada zaman Fir’aun, Fir’aun mengaku sebagai Tuhan. Pada zaman jahiliyyah, membunuh anak perempuan adalah hal yang wajar, sementara pada kepercayaan tertentu, mengorbankan manusia untuk sesajen adalah hal yang sah dan berlaku umum. Apakah ajaran Islam harus disesuaikan dengan perkembangan zaman dan manusia dan menganggap hal itu adalah benar?

Seharusnya, ajaran Islam menjadi petunjuk bagi manusia. Bukan manusia yang jadi “petunjuk” bagi ajaran Islam, sehingga ajaran Islam dirubah-rubah seperti patung sesuai dengan hawa nafsu manusia:

Memang dalam Islam dikenal ijtihad. Tapi ijtihad ini baru dilakukan jika ada masalah baru yang tidak diatur secara jelas dalam Al Qur’an dan Hadits. Misalnya apakah narkoba itu haram atau halal. Meski demikian, keputusan ijtihad itu biasanya selalu berdasarkan Al Qur’an dan Hadits melalui metode Qiyas. Contohnya, meski Narkoba tidak dilarang (karena waktu itu belum ada), tapi dengan ayat Al Qur’an yang melarang manusia berbuat kerusakan atau merusak dirinya serta tidak boleh mubazir, maka Narkoba otomatis dilarang karenanya.

Begitu pula dengan musyawarah. Untuk satu masalah yang tidak diatur secara detail oleh Al Qur’an dan Hadits, misalnya mencari bisnis apa yang baik atau bagaimana mengatur strategi peperangan, maka Nabi dan para sahabat biasa bermusyawarah:

Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka, melaksanakan shalat (dengan sempurna), serta urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (Al-Syura: 38)

Tapi jika di Al Qur’an dan Hadits sudah jelas disebutkan, tidak boleh manusia melanggarnya (misalnya perempuan muslim menikah dengan pria non muslim)

Ulil menganggap jilbab, potong tangan, qishash, dan lain-lain adalah budaya Arab yang tak perlu diikuti, padahal hal tersebut merupakan perintah Allah yang tercantum dalam Al Qur’an:

> Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah
> diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib
> diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.



Pernyataan Ulil bahwa jilbab adalah kebudayaan Arab dan bukan ajaran Islam yang harus dituruti bertentangan dengan Al Qur’an dan sejarah yang ada.

Pada zaman Jahiliyyah, kaum perempuannya biasa mengenakan pakaian tipis, ketat dan mengumbar aurat. Contohnya masih terdapat pada para penari perut Mesir yang cuma mengenakan BH serta cawat yang mengumbar aurat.

Oleh karena itulah Allah menurunkan ayat agar ummat Islam mengenakan jilbab agar tidak mengumbar aurat seperti yang dilakukan oleh perempuan jahiliyyah:

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)

"Katakanlah kepada wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka…" (An Nuur:31)

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu melakukan tabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyyah dahulu...." (Al-Ahzab: 33).

Tabarruj adalah perilaku mengumbar aurat atau tidak menutup bagian tubuh yang wajib untuk ditutup yang dilakukan perempuan jahiliyyah.

Perintah mengenakan jilbab, maksudnya untuk menjauhkan manusia dari perbuatan zina serta menjaga agar para remaja maupun anak-anak tidak rusak moralnya karena melihat para wanita yang berpakaian mini dan merangsang.

Qishash juga merupakan aturan yang diturunkah oleh Allah dalam Al Qur’an:
"Sesungguhnya pada hukum qishash ada kehidupan bagi kalian wahai orang yang cerdas, semoga kalian bertakwa." (Al-Baqarah: 179)

Hukum Qishash diturunkan Allah SWT agar manusia bisa hidup tenang dari ancaman pembunuh.

Demikian pula hukum potong tangan bagi pencuri, meski jika tak mencapai nisab (jumlah curian minimal) atau pada kondisi tertentu (terpaksa) seorang pencuri bisa terhindar, jelas tercantum dalam Al Qur’an. Ini bukan “budaya Arab” seperti yang dikatakan Ulil:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Al Maa-dah:38)

Jika perintah potong tangan bagi pencuri ini diterapkan, tentu para ibu-ibu yang belanja di pasar akan aman dari para copet atau pun para penodong.

Ulil mengatakan jilbab itu adalah pakaian menurut standar kepantasan umum, tak perlu mengikuti aturan Al Qur’an:

> Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu.
> Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum
> (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai
> perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.



Tulisan Ulil di atas sangat relatif dan membingungkan. Di Barat, wanita memakai celana hipster dan terlihat pusarnya atau memakai rok mini sehingga pahanya terlihat itu pantas saja. Di pantai-pantai, perempuan memakai bikini atau cawat dan BH juga adalah hal yang pantas menurut manusia, sehingga para Miss Universe pun mengenakan hal itu. Bahkan di satu pemandian umum di Bali, laki dan perempuan berenang telanjang bulat adalah hal yang pantas di sana menurut manusia. Di Irian Jaya, pria pakai Koteka atau wanita telanjang dada memenuhi standar kepantasan umum di sana. Jika menurut pernyataan Ulil, maka hal di atas adalah hal yang wajar-wajar saja…

Adakah ajaran Islam yang telah memerintahkan para perempuan untuk mengenakan jilbab (satu pakaian yang menutupi seluruh aurat tubuh, tidak tipis, tidak ketat, dan tidak berlebihan) tidak perlu diikuti, tapi kita harus mengikuti “perintah” Ulil di atas?

Jika yang harus diikuti adalah “kepantasan umum” yang berubah-rubah sesuai keinginan manusia, bukan ajaran Islam yang berdasarkan Al Qur’an dan hadits, maka praktek homoseksual, lesbianisme, sex bebas, pelacuran, perjudian dan sebagainya adalah halal dan sesuai dengan ajaran “Islam.” Padahal Allah SWT di Alkitab maupun di Al Qur’an disebutkan menghancurkan kota Sodom karena mereka melakukan praktek homoseksual.

Masyarakat (terutama di Negara-negara Barat), menganggap pelacur bukanlah pekerjaan yang hina. Bahkan di sini pun para pelacur sekarang disebut sebagai “Pekerja Seks,” tak berbeda dengan pekerja lain seperti Dokter, Karyawan, Guru, dan lain-lain. Padahal dalam Al Qur’an Allah melarang manusia untuk mendekati zina, apalagi melakukannya!

Ulil mengatakan wanita Muslim boleh menikah dengan pria Non Muslim, padahal di Al Qur’an hal itu jelas dilarang:

> Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki
> non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas
> melarang itu, karena Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia
> yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik
> yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen
> berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.



Pernyataan Ulil yang mengatakan bahwa perempuan Muslim boleh menikah dengan lelaki Non Muslim jelas bertentangan dengan Al Qur’an:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir, mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (Al Mumtahanah: 10)

"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebe-lum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Al-Baqarah: 221).

Ulil mengatakan bahwa hukum Allah itu tidak ada, padahal dalam Al Qur’an ditegaskan yang tidak mau mengikuti hukum Allah adalah kafir, fasik, dan sebagainya, apalagi yang tidak mengakui keberadaannya:


> Menurut saya, tidak ada yang disebut "hukum Tuhan" dalam pengertian seperti
> dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual
> beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip
> umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut
> sebagai maqashidusy syari'ah, atau tujuan umum syariat Islam.
> …
> Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah
> organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama
> juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada
> adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang
> berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini.



Pernyataan Ulil yang yang mengatakan bahwa tidak ada Hukum Tuhan atau Hukum Allah serta yang ada dan harus diikuti adalah hukum manusia, jelas bertentangan dengan firman Allah SWT dalam Al Qur’an yang telah saya sebut di atas. Padahal Allah SWT menegaskan, bahwa mereka yang tidak memutuskan menurut hukum Allah adalah kafir:

" Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. Al Maidah: 44)

"Dan telah kami tetapkan terhadap mereka didalamnya (Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-lukapun ada qisasnya., maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah oraang-orang yang zhalim." (QS. Al Maidah: 45)

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka ingin berhukum kepada thagut (hukum buatan manusia), padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thagut itu. Dan syaitan ingin menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: 'Marilah kamu tunduk kepada (hukum) yang allah turunkan dan kepada (hukum) Rasul', niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dari (mengikuti) kamu dengan sekuat-kuatnya." (An-Nisaa: 60-61)

Pada pernyataannya di bawah, Ulil meragukan Rasul Muhammad SAW sebagai contoh, karena banyak juga kekurangannya, serta Islam yang diwujudkan oleh Nabi hanyalah histories, particular dan kontekstual. Selanjutnnya Ulil malah mengajak untuk mencari kebenaran di ajaran Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Yahudi, Tao, bahkan Marxisme!

Bayangkan, belajar agama Islam secara menyeluruh saja, ummat Islam banyak yang tidak sanggup, apalagi kalau harus mempelajari semua agama atau isme seperti yang “disabdakan” Ulil!


Ulil:
> BAGAIMANA meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW dalam konteks pemikiran
> semacam ini? Menurut saya, Rasul Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus
> dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa
> memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya),
> sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).
>
> Bagaimana mengikuti Rasul? Di sini, saya mempunyai perbedaan dengan pandangan
> dominan. Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah,
> Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan
> cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan
> di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual.
>
> Saya berpandangan lebih jauh lagi: setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya,
> sejatinya adalah nilai Islami juga. Islam-seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan
> sejumlah pemikir lain-adalah "nilai generis" yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha,
> Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi,
> kebenaran "Islam" bisa ada dalam filsafat Marxisme.



Allah telah menegaskan bahwa pada Rasulullah itu adalah teladan bagi ummat Islam:

“Sungguh telah ada pada diri Rosulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir dan dia banyak ingat kepada Allah”, Qs al-Ahzab,33:21.


Pada akhirnya, Ulil mengatakan semua agama sama benarnya:
> Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah "proses" yang tak
> pernah selesai, ketimbang sebuah "lembaga agama" yang sudah mati, baku, beku,
> jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina 'indal Lahil Islam (QS 3:19),
> lebih tepat diterjemahkan sebagai, "Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar
> adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha
> Benar)."
>
> Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat
> berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama,
> dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang
> berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu
> keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak
> pernah ada ujungnya.



Hal ini jelas bertentangan dengan firman Allah yang menyatakan bahwa agama yang diridhai Allah adalah Islam:

"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…" (Al-Imran 19).
"Barang siapa mencari agama selain agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (Al-Imran 85).

Jika Allah SWT berfirman agama yang diridhai Allah hanyalah Islam, kemudian Ulil bilang semua agama sama benarnya, manakah yang harus kita ikuti: Allah SWT Tuhan semesta Alam, atau Ulil, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL)…???

Bahkan dalam ayat An Nisaa:171, Allah menegur Ahli Kitab karena menyembah Isa sebagai Tuhan atau anak Tuhan:

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, `Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara.” (An Nisaa:171)

“Telah dila`nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan `Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (QS 5:78)

Ayat Al Bayyinah 1-6 menjelaskan bahwa Ahli Kitab (kaum Yahudi dan Nasrani) yang mengingkari Nabi Muhammad dan Al Qur’an sebagai orang yang kafir dan akan masuk neraka, bukan surga sebagaimana pendapat segelintir orang:

“Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, (yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Qur'an), di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus. Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus. Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (Al Bayyinah:1-6)

Toleransi antar ummat beragama memang harus dijalankan, karena Allah SWT berfirman bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat?.? (Al Baqoroh:256)

Tapi itu tak berarti semua agama adalah benar. Yang betul adalah, setiap agama benar menurut keyakinan masing-masing pemeluknya. Dalam surat Al Kafiruun dikatakan “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”

Pemeluk agama Budha tentu yakin agama Budha lah yang paling benar. Pemeluk agama Kristen tentu yakin agama Kristen lah yang paling benar. Pemeluk agama Islam tentu yakin agama Islam lah yang paling benar. Jika kita tidak menganggap agama kita paling benar, tentu kita pindah ke agama lain yang lebih benar bukan? Atau jika semua agama sama benar, tentu kita bisa berpindah-pindah agama setiap saat.

Jika semua agama beranggapan semua agama adalah benar, untuk apa ada lembaga dakwah atau missionaries Kristen yang mengajak setiap orang untuk ke agamanya masing-masing? Jika benar semua agama adalah benar, kenapa Ulil tidak masuk agama lain saja, misalnya agama Kristen dan bikin aliran Kristen Liberal? Jadi para ulama tidak perlu memberi fatwa mati bagi Ulil.

Meski harus ada toleransi dan saling menghargai antar ummat beragama, tapi tetap ada batas yang harus kita hormati.

Energi Keshalihan dan Kemaksiatan ULIL

Energi Keshalihan dan Kemaksiatan ULIL

Counter Liberalisme Oleh : Somad Karim 23 Dec 2002 - 12:52 am

ULIL keponakan Gus Dur (GD). Sang paman (GD) merupakan sosok yang sempurna untuk menjadi contoh konsepsi “bersatunya energi keshalihan dengan energi kemaksiatan” sekaligus.

Di kantor PBNU Kramat, khususnya di ruang kerjanya, Gus Dur mengelola ormas Islam bernama NU. Di tempat itu pula Gus Dur mengelola Aryanti dan makhluk sejenis itu.

Di kalangan NU ada seonggok Kiyai yang dijuluki Kiyai Pajero. Ia sehari-hari mengelola pesantren, berdakwah dan bimbingan haji. Pada suatu hari setelah bimbingan haji di sebuah hotel, Kiyai Pajero menelpon DW janda “pejuang priok” untuk datang, untuk ditiduri, setelah sebelumnya melakukan prosesi singkat “nikah sekejap” ala Pajero.

Dokter Umar Wahid, adiknya Gus Dur (berarti masih pamannya Ulil), pernah meminta Zarima membuat pengakuan palsu, bahwa anak yang dikandungnya itu adalah hasil perselingkuhan dengan Amien Rais.

Imbalannya, lima miliar rupiah.

Uang sebanyak itu akan digunakan untuk memfitnah Amien Rais demi membela sang kakak yang gemar berzinah. Zarima menolak. Artinya, Zarima yang bukan keturunan keluarga Kiyai itu ternyata akhlaqnya lebih baik dari Umar Wahid yang keturunan keluarga Kiyai.

Ketiga sosok di atas adalah organisme yang dapat menampung energi keshalihan dan energi kemaksiatan sekaligus.

Barangkali Ulil gemar menonton videoklip yang menayangkan wanita muda berjingkrak dengan busana seksi dengan dada terbuka, dan diantara dua buah dada yang mengintip bergelayutan seuntai kalung salib. Buah dada yang mengintip adalah energi kemaksiatan, sedangkan kalung salib adalah energi keshalihan.

Jadi bisa dimengerti mengapa dari kepala Ulil lahir hal-hal seperti itu.